Langsung ke konten utama

AGAMA DAN KEKERASAN

A.    Pengertian Agama dan Kekerasan
Menurut E. B. Tylor agama merupakan suatu kepercayaan tehadap adanya wujud spiritual. Definisi ini berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan selalu bersifat personal. Kemudian Betty R. Scharf memberikan pengertian agama dari sudut sosiologi yaitu agama merupakan suatu sistem peribadatan yang menjadi penghubung antara berbagai kesatuan masyarakat, maksudnya yaitu peran agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda, dengan demikian agama dapat dikatakan sebagai kesatuan dan komunal. Hal-hal ini mengarahkan kita pada keikutsertaan dalam peribadatan dan pemahaman akan suatu kepercayaan dan kita disadarkan bahwa suatu agama memiliki kekhasan tersendiri seperti yang nampak dalam sistem peribadatannya.
Jadi pengertian agama sendiri adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Sedangkan kekerasan adalah perihal yang bersifat atau bercirikan keras, dan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedara atau matinya orang lain atau menyebabkan kerukan fisik atau barang orang lain. Bila kita merujuk pada arti ini, maka dapat dikatakan bahwa agama dalam arti tertentu sudah berada di dalam kekerasan. pada saat ini mengalami masa yang sulit. Masa sulit itu dikarenakan oleh adanya tindak kekerasan yang mengatas namakan agama. Hal ini menunjukan bahwa agama saat ini tidak lagi menjawab fungsi moralnya di dalam masyatakat pada saat ini.
B.     Agama Memungkinkan Kekerasan
Agama memberikan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan, diantaranya yaitu:
1)      Berdasarkan kerangka ideology
Agama menjadi pemersatu semua penganutnya. Disini, agama menjadi perekat suatu masyarakat karena memberati kerangka penafsiran dalam pemaknaan relasi antar manusia, yakni sejauh mana tatanan sosial dianggap sebagai representasi religius, seperti yang dikehendaki Tuhan. Sebagai fungsi perekat, agama dapat menimbulkan kontadiksi ketika berhadapan dengan masalah-masalah sosial yang dialami oleh masyarakat. Hal ini nampak dalam ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan, yang kadang menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan tindakan kekerasan.
2)      Agama sebagai faktor identitas
Secara spesifik agama diidentikan kepemilikannya pada individu atau kelompok manusia tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas, status, pandangan hidup, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Hal ini akan sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat bila dikaitkan dengan identitas lainya seperti identitas biologis seksual, etnis, kesukuan, dan kebangsaan. Dengan demikian konfilk dan tindak kekerasan dengan mudah menggunakan agama sebagai alat yang melegitimasikan konflik tersebut. Identitas yang ditonjolkan dalam tindak kekerasan akan menciptakan labeling tentang suatu yang negatif dan melekat pada identitas tertentu.
3)      Agama sebagai legitimasi etis hubungan antar manusia
Agama pada dasarnya mendukung hubungan antar manusia. Dalam kesatuan tersebut agama mudah diakomodasi untuk tujuan tertentu yang dinilai sebagai gerakan kesetaraan dan biang dari kekerasan struktural yang dialami oleh dunia, dengan demikian agama berpotensi untuk diikut sertakan dalam tindak kekerasan. Agama mengajarkan pola hubungan etis antar manusia yang memungkinkan kesatuan dan persaudaraan antar manusia. Hal ini, merupakan suatu yang positif tetapi kesatuan itu masih dilatarbelakangi oleh persamaan seperti, agama, suku, dan etnis. Oleh karena itu, kesatuan itu akan menjadi kekuatan yang besar dan menakutkan jika berhadapan dengan perbedaan yang sulit mereka terima.
Di sinilah agama dapat melegitimasi suatu tindak kekerasan. Contohnya yaitu kaum ateis menuduh agama mengilhami tindakan kekerasan dengan mengacuh pada kitab-kitab sucinya. Mereka mengemukakan bahwa agama menilmbulkan perpecahan di anatara manusia. Selain itu, agama juga meberikan label untuk memisahkan satu kelompok dari kelompok lain. Perang terjadi kerena label yang berbeda dan mengikuti agama yang diridohi Allah untuk melawan agama yang dimurkai Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa agama penyebab tersirat dari tindakan kekerasan dan perang.
C.    Akar-Akar Tindakan Kekerasan Atas Nama Agama
Akar kekerasan dalam agama di bagi dalam dua hal, yaitu: bagaimana peran agama dan bagaimana keterkaitan pemeluknya terhadap agamanya masing-masing. Mengenai peran agama ada dua konsep yang dimiliki oleh setiap agama yang mempengaruhi penganutnya dalam hubungan dengan penganut agama yang lain, yaitu: fanatisme dan toleransi. Kedua hal ini harus dipraktekan secara seimbang. Ketidaksembangan akan melahirkan problem dalam umat beragama. Toleransi yang berlebihan dari umat beragama tertentu dapat menjebak suatu agama dalam pengaburan makna ajaran agama dan eksistensi agama akan melamah. Situasi ini kadang menyebabkan tidak setia dengan ajaran agamanya. Agama hanya menjadi ritual belaka sehingga derajat dan kebenaran agama yang satu disamakan dengan agama yang lainya. Selanjutnya, fanatisme akan melahirkan permusuhan dengan penganut agama lain dan kekerasan atas nama agama. Selain itu, ada faktor situasional juga menjadi pendorong aktor agama melakukan tindakan kekerasan. Disini, disebutkan dua hal, yaitu: orientasi keagamaan yang dianut oleh kelompok mayoritas dan perlakuan yang tidak adil dari pemegang hegemoni. Aktor agama hidup di tengah-tengah sistem sosial dengan tradisi yang berlaku sejak zaman nenek moyangnya. Perlahan tetapi pasti ia menyerap nilai-nilai dan doktrin-doktrin yang diterima secara umum. Hal itu terinternalisasi setelah terlibat dengan agen-agen sosilisasi seperti sekolah, madrasah, gereja, media, komunitas, dan tokoh-tokohnya.
Kekerasan atas nama agama juga dapat terjadi dalam hubungan atara agama yang ditandai oleh ambiguitas. Sifat mendua yang sangat nyata inilah yang melahirkan potensi ganda dalam agama. Agama di suatu sisi menjadi sumber kedamaian tetapi di sisi lain agama juga dapat menjadi sumber konflik dan kekerasan. Ambiguitas tersebut dapat terjadi karena tidak adanya orientasi, dengan demikian setiap agama harus memiliki orientasi yang jelas sehingga para pengikutnya tahu dengan pasti arah kehidupan imanya.
D.    Orientasi Dalam Menyelesikan Konflik
Ada tiga orientasi dalam meyelesaikan suatu konflik, antara lain yaitu:
1)      Ekslusivis
adalah aktor agama yang membangun tembok dan menciptakan sebuah “enclave” daerah terlindung yang steril. Ia hanya percaya pada satu-satunya kebenaran, satu jalan untuk memahami realitas, dan satu cara dalam menafsirkan teks-teks suci, ia percaya bahwa hanya kelompoknya yang selamat. Kelompok yang lain dijamin “masuk neraka”.
2)      Inklusivis
Disini maksudnya yaitu mengakui keragaman tradisi, komunitas, dan kebenaran. Semua adalah jalan menuju kebenaran.
3)      Pluralis
Maksudnya adalah yang berpandangan bahwa kebenaran bukan milik satu tradisi atau komunitan keagamaan. Perbedaan bukanlah penghalang tetapi peluang dalam berdialog.

E.  Agama damai & agama kekerasan
Ellawala Medhananda yang terhormat, seorang pendeta Buddha Srilanka terkenal, berkata dengan terus terang. Saat berbicara dengan Reuters pada Februari 2006, ia nyatakan: “Kalau Prabhakaran tewas, Sri Lanka menjadi tempat yang lebih baik. Ia menghambat proses perdamaian. Kita seharusnya mencampakkan pengaruhnya dari masyarakat.”
Medhananda, pemimpin partai politik Buddhis nasionalis, menyerukan pembunuhan terhadap Velupillai Prabhakaran, seorang pemicu utama konflik etnik dan keagamaan yang telah menewaskan lebih dari 60.000 orang di Sri Lanka. Menurut sejumlah orang, Prabhakaran ialah seorang teroris Hindu yang mengancam demokrasi Sri Lanka; namun menurut sejumlah orang lainnya, dia seorang pejuang kemerdekaan yang berupaya mencapai keadilan untuk kaum minoritas Tamil yang tertindas. Sementara itu, dengan adanya ancaman pembunuhan dari kalangan muslim [terhadap orang-orang yang harus bertanggung jawab atas] kartun yang dipandang melecehkan Nabi Muhammad,sekarang mungkin saat yang tepat untuk merenungkan “debat kusir” seputar kekerasan dan agama di dunia modern.

Agama Buddha seringkali dianggap sebagai “agama damai” oleh orang-orang Amerika Serikat; dan persepsi ini terutama terdapat di kalangan liberal religius. Di abad ke-19, kaum Unitarian membawa pengetahuan tentang Buddhisme ke Barat, dan minat terhadap agama ini banyak yang berasal dari persepsi bahwa Buddhisme menawarkan suatu pendekatan yang rasional, penuh kedamaian, dan pragmatis terhadap agama—bertolak belakang dengan persepsi mereka terhadap agama Kristen. Bahkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Buddhisme mengungkapkan kekaguman mereka terhadap karakter Buddha, yang komitmennya terhadap prinsip-prinsip moral dan integritas pribadinya terkesan menyerupai Unitarian, Protestan, dan Katolik Roma. Belakangan, sikap-sikap tersebut berperan penting dalam memasukkan banyak orang Amerika keturunan Eropa dan Afrika ke dalam agama Buddha pada paruh terakhir abad ke-20. Dan antara lain karena itulah, agama Buddha di Amerika seringkali beroperasi sebagai agama yang liberal.
Meskipun sejarah agama Buddha kurang diperiksa bila dibandingkan dengan Kristen atau Islam, ada banyak noda Buddhisme yang tidak banyak diketahui oleh orang-orang Barat. Diantaranya, pendeta-pendeta Buddha dijadikan barisan bersenjata di hampir semua negara Buddhis. Di beberapa tempat, ada kalanya pendeta-pendeta itu menjadi tentara: Mereka bertempur dengan sekte-sekte rival, dengan didukung oleh tokoh-tokoh politik tertentu, atau memaksakan kesetiaan bagai budak. Buddhisme digunakan untuk mengesahkan imperialisme Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II, sedangkan pendeta-pendeta Buddha mendoakan kematian Presiden [Amerika Serikat} Franklin D. Roosevelt. Sebuah legenda mengklaim bahwa pada masa kehidupan sebelumnya, Sang Buddha lebih dulu membunuh seorang pria untuk mencegah dia dari membunuh 500 orang lain. “Lereng licin”-nya adalah bahwa tidak sedikit orang Buddha yang menggunakan logika tersebut untuk mencapai tujuan mereka sendiri. [Contohnya, lihat pernyataan Medhananda di atas.]
Jadi, apakah Buddhisme “agama tanpa kekerasan” ataukah “agama perang”? Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam “agama damai” seperti yang ditegaskan oleh Presiden George W. Bush? Ataukah Islam “agama kekerasan” sebagaiman dinyatakan oleh Pat Robertson dan banyak orang lain gara-gara kejadian 11 September? Dan bagaimana dengan Kristen, yang memberi kita seorang Yesus yang memberkahi para pencipta perdamaian dan seorang Yesus yang datang dengan sebilah pedang yang keduanya memiliki pengikut yang seimbang?
Tidak ada satu pun orang religius yang bukan bagian dari suatu budaya, kelompok etnis, dan kelas sosial, dan yang tidak dipengaruhi oleh situasi politik masyarakatnya. Begitu kita akui kebenaran yang tak terbantah ini, kita bisa mulai memahami mengapa seruan religius demi perdamaian atau pun demi kekerasan tidak pernah sesederhana ungkapan “agama saya penuh kedamaian” atau “agama mereka penuh kekerasan”. Protes-protes terhadap kartun yang melecehkan Nabi Muhammad itu banyak terkait dengan keluhan-keluhan historis terhadap imperialisme Eropa dan Amerika di wilayah-wilayah muslim sebagaimana kepedulian religius mereka terhadap pengidolaan.
Lagi pula, tidak ada agama yang mendatangi kita yang tidak terkondisikan oleh masa lalunya. Dengan menjadi bagian dari dunia manusia yang tidak sempurna, tidak ada agama yang bisa eksis dalam waktu yang lama tanpa sejumlah perlawanan dan konflik. Hal ini berlaku bagi agama Buddha atau pun agama-agama lainnya, dengan contoh utama perang saudara yang bercorak keagamaan di Sri Lanka pascakolonial.
Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa agama kekerasan “hanyalah” mengenai budaya dan politik. Namun, orang-orang religius selalu memiliki kesetiaan kultural dan politis yang mempengaruhi tanggapan religius mereka. Dan ketika orang-orang itu merasa terancam atau terhina, tidak ada atau hampir tidak ada agama yang kekurangan unsur yang bisa digunakan untuk mengesahkan kekerasan, baik secara defensif maupun ofensif.
Kekeliruan upaya klasifikasi “agama damai” dan “agama kekerasan” itu pada umumnya berasal dari upaya untuk menemukan jurubicara yang mewakili suatu agama secara menyeluruh atau membayangkan bahwa agama-agama itu merupakan benda-benda yang tunggal. Di Barat, agama Buddha dan Islam merupakan keimanan yang relatif kurang dikenal, dan banyak orang Barat yang masuk dalam perangkap pemikiran bahwa di luar sana ada sebuah entitas tunggal yang bernama “Islam” atau pun “Buddhisme”. Pada kenyataannya, ada banyak Buddhisme yang berlainan, Islam yang berlainan, Kristen yang berlainan. Ada Buddhisme yang sangat keras [di samping yang damai] dan ada pula Islam yang damai [di samping ada Islam yang sangat keras, sebagaimana ada Kristen yang militan di samping ada Kristen yang suka damai.
Manakah Buddhisme yang sebenarnya? Manakah Islam yang sebenarnya? Manakah Kristen yang sebenarnya? Tidak ada jawaban terhadap pertanyaan semacam itu tanpa mengacu pada preferensinya sendiri, komitmen teologisnya, dan prasangkanyayang seringkali terkait dengan etnisitas, ras, kekayaan, atau faktor-faktor lainyang mempengaruhi sentimen religiusnya.
Apakah Universalisme Tauhid (UT) merupakan agama damai ataukah agama kekerasan? Jawaban pastinya sulit kita peroleh. Memang, jemaat-jemaat UT menegaskan dan menjunjung “tujuan komunitas dunia yang damai, merdeka, dan adil bagi semua.” Sejarah kita menunjukkan bahwa penegasan tujuan mulia itu tidak berarti bahwa kita semua sepakat mengenai bagaimana mencapainya.” Di Amerika Serikat, Unitarianisme menghasilkan banyak Menteri Perang, termasuk John C. Calhoun dan Alphonso Taft; yang lebih baru, dua dari Meneteri Pertahanan Clinton merupakan orang UT. Keimanan liberal kita juga menghasilkan tokoh-tokoh cinta damai seperti John Haynes Holmes, pendeta Unitarian yang menyatakan dengan terkenal pada malam menjelang masuknya Amerika ke dalam Perang Dunia I: “Jika perang itu benar, maka agama Kristen itu salah, sesat, dusta. Kalau Kekristenan benar, maka perang itu salah, sesat, dusta.”

Semua agama mengandung benih-benih yang dapat mengarah pada perdamaian atau pun kekerasan, tergantung pada bagaimana kita membudidayakannya.

Komentar

  1. Akhirnyaa ketemu juga artikel mengenai pengertian kekerasan maupun pengertian konflik, terimakasih banyak kak sudah berbagi ilmu, semoga berkah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KARAKTERISTIK INOVASI

BAB II KARAKTERISTIK INOVASI 2.1 Pengertian Karakteristik Inovasi Secara etimologis, istilah karakteristik merupakan susunan dua kata yang terdiri dari kata karakteristik dan tafsir. Istilah karakteristik diambil dari Bahasa Inggris yakni  characteristic , yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Secara garis besar karakteristik itu adalah suatu sifat yang khas, yang melekat pada seseorang atau suatu objek. Secara umum, Karakteristik Inovasi Pendidikan dapat diartikan berdasarkan kata Karakteristik dan Inovasi Pendidikan. Karakteristik adalah ciri khas atau bentuk-bentuk watak atau karakter yang dimiliki oleh setiap individu, corak tingkah laku, tanda khusus. Inovasi pendidikan ialah suatu ide, barang, metode yang di rasakan atau di amati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil invensi atau discovery yang di gunakan untuk mencapai tujuan pendidikan untuk memecahkan masalah pendid

ANALISIS PEMBELAJARAN

Pengertian Analisis Pembelajaran Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Analisis memiliki arti sebagai tindakan penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dalam makna lain analisa atau analisis dikatakan sebagai kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah kegiatan atau tindakan guna meneliti struktur kegiatan atau tindakan tersebut secara mendalam. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan sebagai suatu upaya merangkum sejumlah besar data  mentah yang berkaitan dengan pendidikan, untuk kemudian diolah menjadi informasi yang dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan cara yang singkat dan penuh arti. Analisis pembelajaran adalah langkah awal yang perlu dilakukan sebelum melakukan pembelajaran. Langkah-langkah sistematis pembelajaran secara keseluruahan terdiri atas ; 1). Analisis kebutuhan pembelajaran, 2) Menentukan tujuan pembelajaran, 3). Memilih dan mengembangkan bahan ajar, 4). Memilih sumber belajar yang relvan, 5). Memili

Sistem Pendidikan di Italia

Italia menganut sistem pendidikan berupa sekolah publik yang cakupannya sangatlah luas dimana sistem pendidikan di negara ini sudah berlangsung sejak 1859, ketika Legge Casati (Casati UU) mengamanatkan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama (Penyatuan Italia, terjadi di tahun 1861). Undang-undang yang dibuat Casati merupakan undang-undang yang mewajibkan pendidikan dasar dengan tujuan untuk mengurangi buta huruf yang ada di negeri Italia. Undang-undang ini memberikan kontrol pendidikan dasar ke satu kota, dari pendidikan menengah ke regioni (negara), dan perguruan tinggi yang dikelola oleh Negara. Bahkan dengan Undang-Undang Casati yang telah diberlakukan dengan mewajibkan siswa untuk mendapatkan pendidikan, tetap saja masih ada anak yang tidak dikirim sekolah oleh orangtuanya terutama di daerah pedesaan bagian Selatan Italia. Seiring berjalannya waktu, undang-undang yang mengatur tentang pendidikan terus dikaji hingga akhirnya Italia memiliki suatu sistem yang digunakan oleh s